KISAH NABI KHIDIR
KISAH NABI KHIDIR
Musa Belajar Dari Khidir
Dari Ubay bin Ka’ab, Rasulullah bersabda, “Pada suatu ketika Musa berbicara di hadapan Bani Israil, kemudian ada seseorang yang bertanya, ‘Siapakah orang yang paling pandai itu?’ Musa menjawab, ‘Aku.’
Musa Belajar Dari Khidir
Dari Ubay bin Ka’ab, Rasulullah bersabda, “Pada suatu ketika Musa berbicara di hadapan Bani Israil, kemudian ada seseorang yang bertanya, ‘Siapakah orang yang paling pandai itu?’ Musa menjawab, ‘Aku.’
Dengan ucapan itu, Allah mencelanya,
sebab Musa tidak mengembalikan pengetahuan suatu ilmu kepada Allah.
Kemudian Allah mewahyukan kepada Musa, ‘Sesungguhnya Aku memiliki
seorang hamba yang berada di pertemuan antara laut Persia dan Romawi,
hamba-Ku itu lebih pandai daripada kamu!’
Musa bertanya, ‘Ya
Rabbi, bagaimana caranya agar aku bisa bertemu dengannya?’ Maka dijawab,
“Bawalah seekor ikan yang kamu masukkan ke dalam suatu tempat, di mana
ikan itu menghilang maka di situlah hamba-Ku itu berada!’
Kemudian Musa pun pergi. Musa pergi bersama seorang pelayan bernama
Yusya’ bin Nun. Keduanya membawa ikan tersebut di dalam suatu tempat
hingga keduanya tiba di sebuah batu besar. Mereka membaringkan tubuhnya
sejenak lalu tertidur. Tiba-tiba ikan tersebut menghilang dari tempat
tersebut. Ikan itu melompat mengambil jalannya ke laut. Musa dan
pelayannya merasa aneh sekali.
Lalu keduanya terus menyusuri dari siang hingga malam hari. Pada pagi harinya, Musa berkata kepada pelayannya,
آتِنَا غَدَاءنَا لَقَدْ لَقِينَا مِن سَفَرِنَا هَذَا نَصَباً
‘Bawalah ke mari makanan kita. Sesungguhnya kita telah merasa letih karena perjalanan kita ini.’ (QS. Al-Kahfi: 62)
Musa berkata,
ذَلِكَ مَا كُنَّا نَبْغِ فَارْتَدَّا عَلَى آثَارِهِمَا قَصَصاً
‘‘Itulah tempat yang kita cari,’ lalu keduanya kembali mengikuti jejak mereka semula.’ (QS. Al-Kahfi: 64)
Setibanya mereka di batu tersebut, mereka mendapati seorang lelaki yang tertutup kain, lalu Musa memberi salam kepadanya
Khidir (orang itu) bertanya, ‘Berasal dari manakah salam yang engkau
ucapkan tadi?’ Musa menjawab, ‘Aku adalah Musa.’ Khidir bertanya, ‘Musa
yang dari Bani Israil?’ Musa menjawab, ‘Benar!’
هَلْ أَتَّبِعُكَ عَلَى أَن تُعَلِّمَنِ مِمَّا عُلِّمْتَ رُشْد. قَالَ إِنَّكَ لَن تَسْتَطِيعَ مَعِيَ صَبْراً
‘‘Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang
benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?’ Dia menjawab,
‘Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersamaku.’‘
(QS. Al-Kahfi: 66–67)
Khidir berkata, ‘Wahai Musa, aku ini
mengetahui suatu ilmu dari Allah yang hanya Dia ajarkan kepadaku saja.
Kamu tidak mengetahuinya. Sedangkan engkau juga mempunyai ilmu yang
hanya diajarkan Allah kepadamu saja, yang aku tidak mengetahuinya.’
Musa berkata,
سَتَجِدُنِي إِن شَاء اللَّهُ صَابِراً وَلَا أَعْصِي لَكَ أَمْراً
‘Insya Allah, kamu akan mendapati aku sebagai seorang yang sabar dan
aku tidak akan menentangmu dalam suatu urusan pun.’ (QS. Al-Kahfi: 69)
Kemudian, keduanya berjalan di tepi laut. Tiba-tiba lewat sebuah
perahu. Mereka berbincang-bincang dengan para penumpang kapal tersebut
agar berkenan membawa serta mereka. Akhirnya, mereka mengenali Khidhir,
lalu penumpang kapal itu membawa keduanya tanpa diminta upah.
Tiba-tiba, seekor burung hinggap di tepi perahu itu, ia mematuk
(meminum) seteguk atau dua kali teguk air laut. Kemudian, Khidhir
memberitahu Musa, ‘Wahai Musa, ilmuku dan ilmumu tidak sebanding dengan
ilmu Allah, kecuali seperti paruh burung yang meminum air laut tadi!’
Khidhir lalu menuju salah satu papan perahu, kemudian Khidhir
melubanginya. Melihat kejanggalan ini Musa bertanya, ‘Penumpang kapal
ini telah bersedia membawa serta kita tanpa memungut upah, tetapi
mengapa engkau sengaja melubangi kapal mereka? Apakah engkau lakukan itu
dengan maksud menenggelamkan penumpangnya?’
Khidhir menjawab,
قَالَ أَلَمْ أَقُلْ إِنَّكَ لَن تَسْتَطِيعَ مَعِيَ صَبْراً. قَالَ لَا
تُؤَاخِذْنِي بِمَا نَسِيتُ وَلَا تُرْهِقْنِي مِنْ أَمْرِي عُسْراً
‘Bukankah aku telah berkata, ‘Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan
sabar bersamaku.’ Musa berkata, ‘Janganlah kamu menghukum aku karena
kelupaanku.’’ (QS. Al-Kahfi: 72–73)
Itulah sesuatu yang pertama
kali dilupakan Musa, kemudian keduanya melanjutkan perjalanan. Keduanya
bertemu dengan seorang anak laki-laki sedang bermain bersama
kawan-kawannya. Tiba-tiba Khidhir menarik rambut anak itu dan
membunuhnya.
Melihat kejadian aneh ini, Musa bertanya,
أَقَتَلْتَ نَفْساً زَكِيَّةً بِغَيْرِ نَفْسٍ لَّقَدْ جِئْتَ شَيْئاً نُّكْراً
‘Mengapa kamu membunuh jiwa yang bersih, bukan karena dia membunuh
orang lain? Sesungguhnya kamu telah melakukan sesuatu yang mungkar.’
(QS. Al-Kahfi: 74)
Khidhir menjawab,
أَلَمْ أَقُل لَّكَ إِنَّكَ لَن تَسْتَطِيعَ مَعِي صَبْراً
‘Bukankah sudah aku katakan kepadamu bahwa sesungguhnya kamu tidak akan dapat sabar bersamaku?’ (QS. Al-Kahfi: 75)
Maka, keduanya berjalan. Hingga tatkala keduanya sampai kepada penduduk
suatu negeri, mereka minta dijamu kepada penduduk negeri itu, tetapi
penduduk negeri itu tidak mau menjamu mereka. Kemudian keduanya
mendapatkan dalam negeri itu dinding rumah yang hampir roboh.
فَأَقَامَهُ قَالَ لَوْ شِئْتَ لَاتَّخَذْتَ عَلَيْهِ أَجْر. قَالَ هَذَا
فِرَاقُ بَيْنِي وَبَيْنِكَ سَأُنَبِّئُكَ بِتَأْوِيلِ مَا لَمْ تَسْتَطِع
عَّلَيْهِ صَبْراً
‘Khidhir berkata bahwa, melalui tangannya, dia
menegakkan dinding itu. Musa berkata, ‘Jikalau kamu mau, niscaya kamu
mengambil upah untuk itu.’ Khidhir berkata, ‘Inilah perpisahan antara
aku dengan kamu.’‘ (QS. Al-Kahfi: 77–78).
Semoga Allah
menganugerahkan rahmat kepada Musa ‘alaihis salam. Tentu, kita sangat
menginginkan sekiranya Musa dapat bersabar sehingga kita memperoleh
cerita tentang urusan keduanya.” (HR. Al-Bukhari no. 122 dan Muslim no.
2380)
Pelajaran yang dapat dipetik:
1. Orang yang pandai dan terhormat boleh meminta orang lain untuk membantu memenuhi kebutuhannya.
2. Anjuran untuk tawadhu’ dan tidak sombong karena kepandaiannya, dan jika ditanyakan kepadanya, “Siapa orang yang paling pandai?” Hendaknya menjawab, “Allahu a’lam (Allah yang lebih mengetahui).”
3. Kewajiban melaksanakan ajaran yang telah disyariatkan sekalipun akal tidak mampu mencernanya.
4. Anjuran safar dalam thalabul ilmi (menuntut ilmu agama, ed).
5. Anjuran untuk bersopan santun dengan para ulama dan orang yang lebih tua.
6. Ketetapan adalah karamah para wali.
7. Diperbolehkan meminta makanan jika memang membutuhkan.
8. Diperbolehkan menempuh perjalanan dengan berlayar, dan diperbolehkan meminjam kendaraan, menempati rumah, atau memakai pakaian kawannya tanpa memberi imbalan, jika pemiliknya ridha.
9. Menghukumi sesuatu berdasarkan apa yang tampak.
10. Jika harus menghadapi dua bahaya, maka bahaya yang lebih besar harus dihindari dengan cara melakukan bahaya yang lebih ringan.
11. Disyariatkan memberi bimbingan dengan khutbah dan melakukan tanya-jawab.
12. Para nabi bisa lupa, kecapekan, lapar, dan tidur.
13. Lemah lembut kepada pengikut dan pembantu.
14. Manusia tidak sepi dari was-was setan.
15. Disunnahkan bahwa orang yang menyeru seseorang kepada kebaikan atau mengingatkannya, hendaknya ia memulai dengan dirinya sendiri, dan tidak terlarang pula jika sebaliknya. Keduanya disinyalir dalam sunnah.
16. Hadits ahad diterima dalam masalah-masalah akidah.
1. Orang yang pandai dan terhormat boleh meminta orang lain untuk membantu memenuhi kebutuhannya.
2. Anjuran untuk tawadhu’ dan tidak sombong karena kepandaiannya, dan jika ditanyakan kepadanya, “Siapa orang yang paling pandai?” Hendaknya menjawab, “Allahu a’lam (Allah yang lebih mengetahui).”
3. Kewajiban melaksanakan ajaran yang telah disyariatkan sekalipun akal tidak mampu mencernanya.
4. Anjuran safar dalam thalabul ilmi (menuntut ilmu agama, ed).
5. Anjuran untuk bersopan santun dengan para ulama dan orang yang lebih tua.
6. Ketetapan adalah karamah para wali.
7. Diperbolehkan meminta makanan jika memang membutuhkan.
8. Diperbolehkan menempuh perjalanan dengan berlayar, dan diperbolehkan meminjam kendaraan, menempati rumah, atau memakai pakaian kawannya tanpa memberi imbalan, jika pemiliknya ridha.
9. Menghukumi sesuatu berdasarkan apa yang tampak.
10. Jika harus menghadapi dua bahaya, maka bahaya yang lebih besar harus dihindari dengan cara melakukan bahaya yang lebih ringan.
11. Disyariatkan memberi bimbingan dengan khutbah dan melakukan tanya-jawab.
12. Para nabi bisa lupa, kecapekan, lapar, dan tidur.
13. Lemah lembut kepada pengikut dan pembantu.
14. Manusia tidak sepi dari was-was setan.
15. Disunnahkan bahwa orang yang menyeru seseorang kepada kebaikan atau mengingatkannya, hendaknya ia memulai dengan dirinya sendiri, dan tidak terlarang pula jika sebaliknya. Keduanya disinyalir dalam sunnah.
16. Hadits ahad diterima dalam masalah-masalah akidah.
Sumber: 61 Kisah Pengantar Tidur, Muhammad bin Hamid Abdul Wahab, Darul Haq, Cetakan VI, 2009.
(Dengan penataan bahasa oleh redaksi www.kisahmuslim.com)
(Dengan penataan bahasa oleh redaksi www.kisahmuslim.com)
Kisah Nabi Khidir
Misteri Nabi Khidir Dan Nasehatnya Kepada Nabi Musa
Sebagian kita ada yang menganggap ‘Nabi Khidir “ sampai sekarang belum wafat, untuk mengajarkan berbagai hikmah kepada manusia.. Bagaimanakah sejatinya nabi Khidir itu?
Misteri Nabi Khidir Dan Nasehatnya Kepada Nabi Musa
Sebagian kita ada yang menganggap ‘Nabi Khidir “ sampai sekarang belum wafat, untuk mengajarkan berbagai hikmah kepada manusia.. Bagaimanakah sejatinya nabi Khidir itu?
Dari sebuah khutbah
Juma’at seorang ustadz (KH. Yaksyallah Mansur Ma) menyampaikan hikmah
dari kisah Nabi khidir dan Nabi Musa..
“ Lalu keduanya bertemu
dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah kami berikan
rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari
sisi kami..” (Qs Al kahfi : 65)
Menurut jumuhul mafassirin
(mayoritas ahli tafsir) sejak dari Ibnu Abbas, Al Thabari, Al Qurthubi,
Ibnu Katsir sampai penafsir kontemporer Ahmad Musthafa al Maraghi bahwa
yang dimaksud keduanya pada ayat ini adalah Nabi Musa Alaihi Salam dan
anak muda pengiringnya (pembantunya) Yusya’ bin Nun. Sementara yang
dimaksud seorang diantara hamba-hamba Kami adalah Nabi Khidr Alaihi
Slama. Tetapi penafsir kontemporer yang lain yaitu as Syahid Sayid
Quthb, penyusun tafsir fi dzilalil Qur’an tidak menyebut nama Khidr
ketika menafsirkan ayat ini. Dia hanya menyebut-nyebut al abdus shalih
(hamba yang shalih) saja. Dia berpendirian demikian sebab di dalam
ayat-ayat yang berhubungan dengan kisah ini (QS Al Kahfi 65-82) tidak
pernah disebut nama Khidr dan karenanya beliau merasa lebih baik
membiarkan sosok ini tetap rahasia seperti yang termaktub dalam Al
Qur’an
SIAPAKAH NABI KHIDIR ITU?
Sosok nabi Khidir Alaihi
Salam yang menurut Jumhurul Mufasirin sebagi nabi yang dijadikan oleh
Nabi Musa Alaihi Salam sebagai gurunya, telah menimbulkan kontroversi di
kalangan ulama sejak dahulu samapai sekarang. Khidr atau khadhir atau
Khidhir berasal dari bahasa Arab yang artinya hijau. Menurut riwayat
Mujahid apabila dia shalat rumput-rumput kering yang disekelililngnya
akan menjadi hijau. Segolongan orang terutama dari kalangan kaum shufi
mengatakan bahwa dia masih hidup sampai sekarang. Banyak cerita lainnya,
tetapi kebanyakan cerita tersebut berasal dari kisah-kisah israiliyat.
Dan tentang beliau masih hidup sampai sekarang bertentangan dengan ayat
Allah : Kami tidak menjadikan hidup abadi bagi seorang manusiapun
sebelum kamu (Muhammad), maka jikalau kamu mati, apakah mereka akan
kekal? Tiap –tiap yang berjiwa akan merasakan mati (Qs Al Anbiya :
34-35)
Imam Bukhari dan beberapa perawi hadis yang lain menegaskan Nabi Khidr Alaihi Salam telah wafat
Hikmah dari kisah ini , Adab menuntut ilmu
AI Imam Fakhrur Razi mengatakan,” Ketahuilah , ayat ini (Qs al Kahfi:
66) menunjukan bahwa Nabi Musa memperhatikan adab serta tata cara yang
cukup banyak dan lunak ketika ingin belajar dari nabi Khidir. Tata cara
tersebut antara lain :
Nabi Musa merendah’kan dirinya dengan
bertanya secara halus , “ Apakah engkau mengizinku untuk mengikutimu?
Padahal kita tahu Nabi Musa adalah seorang nabi Ulul Azmi yang pernah
bercakap-cakap dengan Allah dan memimpin Bani Israil. Dia pula
satu-satunya Nabi yang disebut namanya dalam Al Qur’an sebanyak 300
Kali!
Kemudian nabi Musa mengatakan “ Supaya kamu mengajarkan
kepadaku ilmu yang benar..” ini membuktikan kepribadian luhur dan sifat
tawadlu untuk mengakui akan kebodohan dirinya di hadapan sang guru. Dan
beberapa adab lainnya
Hikmah kisah ini juga menyampaikan salah
satu etika dalam menuntut ilmu (al Qur’an) adalah bahwa ilmu harus
dicari dari sumbernya . Ia harus didatangi walau jauh tempatnya dan
kesulitan dalam menempuhnya. Dan Nabi Musa mencontohkan bagaimana ia
walaupun seorang nabi pilihan (ulul azmi) yang sekaligus pemimpin , siap
menempuh suatu perjalanan untuk mencari ilmu.
Nasihat Khidir kepada Musa
Dari Umar bin Al Khattab Radiyallahu Anhu , bahwa Rasulullah
Shallallahu Alaihi Wa sallam bersabda, “ Saudaraku, Musa Alaihissalam
berkata, Wahai Rabbi .., tampakanlah kepadaku orang yang engkau
tampakkan kepadaku di perahu..”
Allah menurunkan wahyu kepada Musa ,” Hai Musa kamu akan melihatnya..”
Tak berapa lama kemudian datang Khidir, dengan aroma yang harum dan
mengenakan pakaian berwarna putih. Khidir berkata, “ Salam sejahtera
atasmu wahai Musa bin Imran. Sesungguhnya Rabbmu menyampaikan salam
kepadamu beserta rahmatNYa..
Musa berkata,” Dialah As-Salam dan
kepada-Nya kesejahteraan serta dari Nya kesejahteraan. Segala puji bagi
Allah Rabbul-alamin yng nikmat-nikmatNya tidak dapat kuhitung dan aku
tidak dapat bersyukur kepada-Nya kecuali dengan petolongan-Nya. Kemudian
Musa berkata, “ Aku Ingin engkau memberiku nasihat dengan suatu nasihat
yang dengannya Allah memberikan manfaat kepadaku sepeninggalmu.”
Khidir berkata,” Wahai pencari ilmu, sesungguhnya orang yang berbicara
tidak lebih mudah jemu daripada orang yang mendengarkan. Maka janganlah
kau buat orang-orang yang ada disekitarmu menjadi jemu ketika engkau
berbicara kepada mereka. Ketahuilah bahwa hatimu merupakan bejana.
Kenalilah dunia dan buanglah ia dibelakangmu, karena dunia bukan
merupakan tempat tinggalmu, dan apa yang ditetapkan bagimu tidak ada di
sana. Dunia dijadikan sebagai perantara hidup hamba, agar mereka mencari
bekal darinya untuk tempat kembali. Hai Musa , letakkanlah dirimu pada
kesabaran, tentu engkau akan selamat dari dosa. Wahai Musa, pusatkanlah
minatmu pada ilmu kalau memang engkau menghendakinya. Sesungguhnya ilmu
itu bagi orang yang berminat kepadanya. Janganlah engkau menjadi mudah
kagum kepada perkataan yang disampaikan panjang lebar, karena banyak
perkataan mendatangkan aib bagi orang yang berilmu dan dapat membocorkan
rahasia yang mestinya ditutupinya.Tetapi semestinya engkau berkata
sedikit karena yang demikian itu termasuk taufiq dan kebenaran.
Berpalinglah dari orang bodoh dan bersikaplah secara lemah lembut
terhadap orang yang dungu, karena yang demikian itu merupakan kelebihan
para ahli hikmah dan hiasan orang-orang yang berilmu. Jika ada orang
bodoh yang mencacimu , diamlah di depannya lalu menyingkir dari sisinya
secara hati-hati karena kelanjutannya tetap menggambarkan kebodohannya
terhadap dirimu dan caciannya akan semakin bertambah gencar dan banyak.
Wahai anak keturunan Imran, janganlah engkau terlihat memiliki ilmu
kecuali hanya sedikit. Sesungguhnya asal keluar dan asal berbuat
merupakan tindakan menceburkan diri kepada sesuatu yang tidak jelas dan
memaksakan diri. Wahai anak Imran janganlah sekali-kali engkau
membukakan pintu yang tidak engkau ketahui untuk apa pintu itu ditutup
dan jangan tutup pintu yang tidak engkau ketahui untuk apa ia di buka.
Wahai anak Imran, siapa yang tidak berhenti dari dunia, maka dunia itu
yang akan melahapnya. Mana mungkin seseorang menjadi ahli ibadah jika
hasratnya kepada dunia tidak pernah habis? Siapa yang menghinakan
keadaan dirinya dan membuat tuduhan terhadap Allah tentang apa yang
ditakdirkan baginya, mana mungkin kan menjadi orang zuhud? Adakah orang
yang telah dikalahkan hawa nafsunya akan berhenti dari syahwat? Mana
mungkin pencarian ilmu masih bermanfaat bagi orang yang dipagari
kebodohan? Perjalanan akan menunjukkan ke akhirat dengan meninggalkan
dunia . Wahai Musa belajarlah apa engkau amalkan agar engkau
mengamalkannya dan janganlah engkau menampakkan amalmu agar
disebut-sebut , sehingga engkau mendapat kerusakan dan orang lain
mendapat cahaya. Wahai anak Imran, jadikanlah zuhud dan taqwa pakaianmu,
jadikanlah ilmu dan zikir sebagai perkataanmu, karena yang demikian itu
membuatmu Rabbmu ridha. Berbuatlah kebaikan karena engkau juga harus
melakukan yang lainnya. Engkau telah mendapatkan nasihatnya jika engkau
menghafalkannya”.
Setelah itu Khidir berbalik meninggalkannya,
sehingga tinggal sendirian Musa dalam keadaaan sedih. (Diriwayatkan Ath
Thbrany dalam Al Ausath, di dalam nya ada Zakaria bin Yahnya Al Wafad,
yang didhaifkan tidak hanya oleh satu orang, Ibnu Hibband dalam At
Tsiqat. Dia menyebutkan bahwa dia salah dalam kemaushullannya. Yang
benar , didalamnya ada riwayat dari Sufyan Ats Tsaury, bahwa Rasulullah
Shallallahu Alaihi wa Sallam mengatakannya, dan rijal yang lainnya
tsiqat. Majma”Az Zawa’id, 10/224)
Sumber : Kutbah-khutbah Rasulullah., Muhammad kHalil Al Khatib
Kisah Nabi Khidir
Benarkah Nabi Khidir Masih Hidup?
Al-Khidir adalah hamba yang saleh dan disebutkan oleh Allah SWT dalam Surat Al-Kahfi, yaitu sebagai teman Nabi Musa AS, di mana Nabi Musa belajar kepadanya.
Benarkah Nabi Khidir Masih Hidup?
Al-Khidir adalah hamba yang saleh dan disebutkan oleh Allah SWT dalam Surat Al-Kahfi, yaitu sebagai teman Nabi Musa AS, di mana Nabi Musa belajar kepadanya.
Al-Khidir mensyaratkan kepadanya agar
bersabar. Maka Musa menyanggupinya. Al-Khidir berkata, "Bagaimana kamu
dapat bersabar atas sesuatu yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang
cukup tentang hal itu?"
Al-Khidir adalah seorang hamba yang
diberi rahmat oleh Allah dan ilmu dari sisi-Nya. Musa terus berjalan
bersamanya dan melihat Al-Khidir telah melubangi perahu. Maka Musa
berkata, "Apakah engkau melubanginya supaya penumpangnya tenggelam?"
Cerita selanjutnya telah disebutkan dalam Surat Al-Kahfi.
Musa
merasa heran atas perbuatannya, hingga Al-Khidir menerangkan kepadanya
sebab-musabab dari perbuatan yang dilakukan itu. Pada akhir
pembicaraannya, Al-Khidir berkata, "Bukanlah aku melakukan itu menurut
kemauanku sendiri. Demikian itu adalah penjelasan dari
perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat bersabar atasnya." Maksudnya,
semua perbuatan itu hanyalah karena kemauan Allah SWT.
Sebagian
orang berkata tentang Al-Khidir, "Ia hidup sesudah Musa hingga zaman
Isa, kemudian zaman Nabi Muhammad SAW, ia sekarang masih hidup, dan akan
hidup hingga Kiamat."
Orang-orang menulis kisah-kisah,
riwayat-riwayat dan dongeng-dongeng bahwa Al-Khidir menjumpai si Fulan
dan memakaikan kirqah (pakaian) kepada si Fulan dan memberi pesan kepada
si Fulan.
Sama sekali tidak adil pendapat yang mengatakan bahwa
Al-Khidir masih hidup—sebagaimana anggapan sementara orang—tetapi
sebaliknya, ada dalil-dalil dari Al-Qur'an, sunah, akal dan ijma
diantara para ulama dari umat ini bahwa Al-Khidir sudah tiada.
Saya anggap cukup dengan mengutip keterangan dari kitab Al-Manaarul
Muniif fil Haditsish Shahih wa adh-Dha'if karangan Ibnul Qayyim. Ibnul
Qayyim rahimahullah menyebutkan dalam kitab itu ciri-ciri dari hadis
maudlu, yang tidak diterima dalam agama. Diantara cirinya ialah
"hadis-hadis yang menceritakan tentang Al-Khidir dan kehidupannya."
Semuanya adalah dusta. Tidak satu pun hadis yang shahih.
Di
antara hadis maudlu itu ialah hadis yang berbunyi, "Bahwa Rasulullah SAW
sedang berada di masjid, ketika itu beliau mendengar pembicaraan dari
arah belakangnya. Kemudian beliau melihat, ternyata ia adalah
Al-Khidir."
Juga hadis, "Al-Khidir dan Ilyas berjumpa setiap tahun." Dan hadis, "Jibril, Mikail dan Al-Khidir bertemu di Arafah."
Ibrahim Al-Harbi ditanya tentang umur Al-Khidir yang panjang dan bahwa
ia masih hidup. Maka beliau menjawab "Tidaklah ada yang memasukkan paham
ini kepada orang-orang, kecuali setan."
Imam Bukhari ditanya
tentang Al-Khidir dan Ilyas, apakah keduanya masih hidup? Maka ia
menjawab, "Bagaimana hal itu terjadi?" Nabi saw telah bersabda,
"Tidaklah akan hidup sampai seratus tahun lagi bagi orang-orang yang
berada di muka bumi ini." (HR Bukhari-Muslim).
Banyak imam
lainnya yang ketika ditanya tentang hal itu, maka mereka menjawab
dengan menggunakan Alquran sebagai dalil: "Kami tidak menjadikan hidup
abadi bagi seorang manusia pun sebelum kamu (Muhammad), maka jika kamu
mati apakah mereka akan kekal?" (QS. Al-Anbiyaa': 34).
Syekhul
Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah ditanya tentang hal itu, maka ia
menjawab, "Andaikata Al-Khidir masih hidup, tentulah ia wajib mendatangi
Nabi SAW dan berjihad bersamanya, serta belajar darinya."
Jika
Al-Khidir itu manusia, maka ia tidak akan kekal, karena hal itu ditolak
Alquranul Karim dan sunah yang suci. Seandainya ia masih hidup,
tentulah ia datang kepada Nabi SAW. Nabi SAW telah bersabda, "Demi
Allah, andaikata Musa masih hidup, tentu ia akan mengikuti aku." (HR
Ahmad).
Jika Al-Khidir seorang Nabi, maka ia tidak lebih utama
daripada Musa AS. Dan jika seorang wali, tidaklah ia lebih utama
daripada Abu Bakar RA. Apakah hikmahnya sehingga ia hidup hingga
kini—sebagaimana anggapan orang-orang—di padang luas, gurun dan
gunung-gunung? Apakah faedahnya syar'iyah maupun akliah di balik ini?
Sesungguhnya orang-orang selalu menyukai cerita-cerita ajaib dan
dongeng-dongeng fantastis. Mereka menggambarkannya menurut keinginan
mereka, sedangkan hasil dari imajinasinya, mereka gunakan sebagai baju
keagamaan. Cerita ini disebarkan diantara sebagian orang awam dan mereka
menganggapnya berasal dari agama mereka, padahal sama sekali bukan dari
agama. Hikayat-hikayat yang diceritakan tentang Al-Khidir hanyalah
rekayasa manusia dan tidak diturunkan oleh Allah hujjah untuk itu.
Adapun mengenai pertanyaan, apakah ia seorang Nabi atau wali? Para
ulama berbeda pendapat mengenai hal itu. Tampaknya yang lebih tepat
Al-Khidir adalah seorang Nabi, sebagaimana tercantum pada ayat yang
mulia dari Surat Al-Kahfi, "... dan bukanlah aku melakukannya menurut
kemauanku sendiri..." (QS. Al-Kahfi: 82).
Perkataan itu adalah
dalil bahwa ia melakukan itu berdasarkan perintah Allah dan wahyu-Nya,
bukan dari dirinya. Lebih tepatnya Al-Khidir adalah seorang Nabi bukan
wali.
Sumber : Fatawa Qardhawi
Post a Comment